Langit malam yang tak bersuara ketika Fajar duduk diam di tepi ranjangnya. Kamar itu hening, tapi kepalanya riuh. Ada tumpukan pakaian di sudut ruangan, secangkir kopi dingin di atas meja, dan ponsel yang terus menyala tapi tak pernah ia sentuh sejak sore tadi.
Ia tidak menangis, tidak ada air mata
malam itu. Tapi ada sesak yang menggantung di dadanya, seperti beban yang tak
bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesuatu yang lebih menyakitkan dari kesedihan
adalah ketika ia bahkan tak tahu kenapa ia merasa hancur.
Fajar menarik napas panjang, tapi udara
terasa sempit, “Aku lelah,” bisiknya, meski tak ada siapa-siapa yang mendengar.
Sudah tiga bulan sejak ia berhenti dari
pekerjaannya—bukan karena ingin, tapi karena tak sanggup. Ia bangun tiap pagi
dengan kepala berat, tubuh yang menolak bergerak, dan hati yang kosong. Hal-hal
yang dulu membuatnya hidup, kini tak lagi menyentuhnya. Menulis, membaca,
mendengarkan musik—semuanya seperti kehilangan warna.
Padahal dari luar, hidup Fajar terlihat
baik-baik saja. Ia punya gelar, banyak teman yang peduli, dan keluarga yang
selalu mendukung. Tapi siapa pun yang pernah mengalami kehampaan pasti tahu,
cinta dan dukungan tak selalu cukup untuk menyelamatkan seseorang dari dirinya
sendiri.
Retak yang Tak Terdengar
Semua bermula dari tekanan kecil. Deadline
yang terlalu padat, ekspektasi yang terlalu tinggi, dan Fajar terlalu sering
berkata, “Aku bisa,” meski dalam hatinya ia ingin berteriak, “Aku butuh
bantuan.”
Ia mengorbankan waktu tidur, istirahat,
bahkan akhir pekannya demi terus menjadi produktif. Karena dalam pikirannya,
nilai dirinya diukur dari seberapa banyak yang bisa ia capai.
Sampai suatu hari, tubuhnya menyerah. Ia
terbangun dengan jantung yang berdebar kencang tanpa sebab. Tangannya gemetar,
napasnya pendek, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Fajar takut berada
di dalam tubuhnya sendiri.
Ia ke psikolog, didiagnosis dengan kelelahan mental dan kecemasan kronis. Bahkan setelah tahu itu bukan “sekadar capek,” Fajar masih merasa bersalah karena tak bisa kembali “normal” seperti dulu.
Tumbuh Tak Selalu Terlihat
Malam itu, saat ia duduk sendiri di
kamarnya, Fajar membuka buku jurnal lamanya. Ia membaca tulisan-tulisan dari
masa ketika hidupnya masih penuh semangat. Satu kutipan membuatnya berhenti dengan
kalimat.
“Aku ingin menjadi rumah bagi diriku sendiri.”
Ia menangis. Bukan karena sedih, tapi
karena rindu. Rindu pada dirinya yang dulu punya harapan, punya arah, dan
percaya pada kemungkinan baik. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Fajar
menulis kembali.
“Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk
validasi. Hanya untuk dirinya sendiri.”
Hari-hari berikutnya tetap berat. Ada pagi
di mana ia hanya bisa duduk diam dan menatap jendela. Tapi kini ia tak lagi
memaksa untuk berlari. Ia mulai berjalan, pelan-pelan. Kadang satu langkah
maju, dua langkah mundur. Tapi setiap langkah adalah bagian dari perjalanan.
Ia kembali membaca buku. Bukan untuk
produktif, tapi untuk merasa. Ia kembali mendengarkan lagu lama yang pernah
menyelamatkannya. Ia mulai tidur cukup, makan teratur, dan belajar bilang
"tidak" pada hal-hal yang menguras dirinya.
Satu hal yang terpenting, ia mulai bicara pada dirinya sendiri dengan lembut. Tidak lagi penuh tuntutan, tapi dengan pengertian.
Kamu Tak Sendiri
Satu tahun sejak malam itu, Fajar berdiri
di depan sekelompok anak muda dalam sebuah workshop menulis. Di tangannya ada
buku kumpulan esai yang ia tulis berjudul “Sepenggal Cerita Diri.”
"Aku pernah berpikir, aku harus
sempurna agar bisa dicintai," katanya dengan suara tenang, "Tapi
ternyata, aku hanya perlu jujur untuk bisa sembuh."
Beberapa peserta tersenyum, beberapa
menunduk dengan mata berkaca. Mereka melihat bagian dari diri mereka di dalam
cerita Fajar. Di situlah Faajr sadar bahwa dari reruntuhannya sendiri, ia bisa
menjadi cahaya kecil bagi orang lain.
Ia tidak mengaku sembuh sepenuhnya. Tapi
kini ia tahu, tumbuh bukan berarti kembali menjadi seperti dulu. Tumbuh adalah
menjadi versi diri yang lebih sadar, lebih sabar, dan lebih jujur.