Dari Runtuh ke Tumbuh

Ilustrasi bahagia (Source: Pexels/Alex P)

Langit malam yang tak bersuara ketika Fajar duduk diam di tepi ranjangnya. Kamar itu hening, tapi kepalanya riuh. Ada tumpukan pakaian di sudut ruangan, secangkir kopi dingin di atas meja, dan ponsel yang terus menyala tapi tak pernah ia sentuh sejak sore tadi.

Ia tidak menangis, tidak ada air mata malam itu. Tapi ada sesak yang menggantung di dadanya, seperti beban yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sesuatu yang lebih menyakitkan dari kesedihan adalah ketika ia bahkan tak tahu kenapa ia merasa hancur.

Fajar menarik napas panjang, tapi udara terasa sempit, “Aku lelah,” bisiknya, meski tak ada siapa-siapa yang mendengar.

Sudah tiga bulan sejak ia berhenti dari pekerjaannya—bukan karena ingin, tapi karena tak sanggup. Ia bangun tiap pagi dengan kepala berat, tubuh yang menolak bergerak, dan hati yang kosong. Hal-hal yang dulu membuatnya hidup, kini tak lagi menyentuhnya. Menulis, membaca, mendengarkan musik—semuanya seperti kehilangan warna.

Padahal dari luar, hidup Fajar terlihat baik-baik saja. Ia punya gelar, banyak teman yang peduli, dan keluarga yang selalu mendukung. Tapi siapa pun yang pernah mengalami kehampaan pasti tahu, cinta dan dukungan tak selalu cukup untuk menyelamatkan seseorang dari dirinya sendiri.

Retak yang Tak Terdengar

Semua bermula dari tekanan kecil. Deadline yang terlalu padat, ekspektasi yang terlalu tinggi, dan Fajar terlalu sering berkata, “Aku bisa,” meski dalam hatinya ia ingin berteriak, “Aku butuh bantuan.”

Ia mengorbankan waktu tidur, istirahat, bahkan akhir pekannya demi terus menjadi produktif. Karena dalam pikirannya, nilai dirinya diukur dari seberapa banyak yang bisa ia capai.

Sampai suatu hari, tubuhnya menyerah. Ia terbangun dengan jantung yang berdebar kencang tanpa sebab. Tangannya gemetar, napasnya pendek, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Fajar takut berada di dalam tubuhnya sendiri.

Ia ke psikolog, didiagnosis dengan kelelahan mental dan kecemasan kronis. Bahkan setelah tahu itu bukan “sekadar capek,” Fajar masih merasa bersalah karena tak bisa kembali “normal” seperti dulu.

Tumbuh Tak Selalu Terlihat

Malam itu, saat ia duduk sendiri di kamarnya, Fajar membuka buku jurnal lamanya. Ia membaca tulisan-tulisan dari masa ketika hidupnya masih penuh semangat. Satu kutipan membuatnya berhenti dengan kalimat.

 “Aku ingin menjadi rumah bagi diriku sendiri.”

Ia menangis. Bukan karena sedih, tapi karena rindu. Rindu pada dirinya yang dulu punya harapan, punya arah, dan percaya pada kemungkinan baik. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Fajar menulis kembali.

“Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk validasi. Hanya untuk dirinya sendiri.”

Hari-hari berikutnya tetap berat. Ada pagi di mana ia hanya bisa duduk diam dan menatap jendela. Tapi kini ia tak lagi memaksa untuk berlari. Ia mulai berjalan, pelan-pelan. Kadang satu langkah maju, dua langkah mundur. Tapi setiap langkah adalah bagian dari perjalanan.

Ia kembali membaca buku. Bukan untuk produktif, tapi untuk merasa. Ia kembali mendengarkan lagu lama yang pernah menyelamatkannya. Ia mulai tidur cukup, makan teratur, dan belajar bilang "tidak" pada hal-hal yang menguras dirinya.

Satu hal yang terpenting, ia mulai bicara pada dirinya sendiri dengan lembut. Tidak lagi penuh tuntutan, tapi dengan pengertian.

Kamu Tak Sendiri

Satu tahun sejak malam itu, Fajar berdiri di depan sekelompok anak muda dalam sebuah workshop menulis. Di tangannya ada buku kumpulan esai yang ia tulis berjudul “Sepenggal Cerita Diri.”

"Aku pernah berpikir, aku harus sempurna agar bisa dicintai," katanya dengan suara tenang, "Tapi ternyata, aku hanya perlu jujur untuk bisa sembuh."

Beberapa peserta tersenyum, beberapa menunduk dengan mata berkaca. Mereka melihat bagian dari diri mereka di dalam cerita Fajar. Di situlah Faajr sadar bahwa dari reruntuhannya sendiri, ia bisa menjadi cahaya kecil bagi orang lain.

Ia tidak mengaku sembuh sepenuhnya. Tapi kini ia tahu, tumbuh bukan berarti kembali menjadi seperti dulu. Tumbuh adalah menjadi versi diri yang lebih sadar, lebih sabar, dan lebih jujur.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama