JEJAK KABAR - Ketika Avatar: The Way of Water dirilis pada Desember 2022, banyak penonton menaruh harapan tinggi terhadap kelanjutan kisah Pandora karya James Cameron. Setelah lebih dari satu dekade sejak film pertamanya, muncul pertanyaan besar: masihkah Cameron mampu menciptakan keajaiban sinema seperti tahun 2009? Namun sejak menit pertama film ini dimulai, keraguan itu sirna. The Way of Water bukan sekadar sekuel yang megah, tetapi sebuah pengalaman visual dan emosional yang menegaskan kembali kekuatan sinema sebagai medium refleksi kemanusiaan dan alam.
Sebagai penonton, saya terpukau bukan hanya karena kemegahan visualnya, tetapi juga karena cara Cameron menggunakan teknologi sebagai bahasa emosional. Adegan bawah laut Pandora terasa hidup, seolah air menjadi karakter yang bernapas. Dengan teknologi performance capture bawah air, Cameron tidak hanya menampilkan keindahan, melainkan menghadirkan makna. Ia membuktikan bahwa teknologi sinema dapat memiliki jiwa, bukan sekadar alat untuk memamerkan kecanggihan.
Kekuatan utama The Way of Water bagi saya terletak pada pesannya tentang keluarga dan keberlanjutan hidup. Jake Sully dan Neytiri kini menjadi orang tua, dan kisah film berfokus pada upaya mereka melindungi anak-anaknya dari ancaman manusia yang kembali menyerang Pandora. Namun lebih dalam dari itu, film ini menegaskan bahwa keluarga bukan hanya ikatan darah, melainkan hubungan spiritual antara manusia, sesama, dan alam. Air yang menjadi elemen utama film menggambarkan keseimbangan kehidupan, yaitu mengalir, melindungi, dan menyatukan. Suku Metkayina hidup harmonis dengan laut, menggambarkan bentuk hubungan ideal antara makhluk hidup dan lingkungannya.
Film ini juga menyimpan pesan ekologis yang kuat. Adegan perburuan paus Pandora (tulkun) menjadi simbol kerakusan manusia terhadap alam. Bagi saya, bagian ini merupakan refleksi tajam terhadap realitas yang sedang kita hadapi: eksploitasi sumber daya, perburuan hewan laut, dan kerusakan ekosistem. Cameron tidak menyampaikan kritiknya secara verbal, tetapi melalui kekuatan gambar yang berbicara sendiri. Ia menunjukkan bahwa manusia kerap menghancurkan apa yang ia kagumi, dan hanya menyadari nilai kehidupan setelah segalanya hancur.
Dari sisi sinematografi, The Way of Water adalah karya visual yang luar biasa. Setiap adegan bawah laut tampak seperti lukisan hidup dengan cahaya yang lembut dan warna yang memikat. Namun yang membuat film ini istimewa bukan semata keindahan gambarnya, melainkan bagaimana setiap detail visual memiliki fungsi emosional. Setiap riak air, setiap tatapan mata, dan setiap momen hening membawa makna. Cameron berhasil mengubah lautan menjadi simbol spiritual sebagai tempat refleksi, pengorbanan, dan pembelajaran tentang kehidupan.
Meski begitu, saya memahami kritik sebagian penonton yang menilai durasi film terlalu panjang. Pada paruh tengah, cerita memang terasa lambat ketika penonton diajak menyelami kehidupan laut Pandora. Namun bagi saya, kelambatan itu justru menjadi ruang kontemplasi. Cameron ingin penontonnya merasakan, bukan sekadar menyaksikan. Ia memberi waktu bagi kita untuk tenggelam bersama karakter, memahami ritme alam, dan menyadari bahwa keheningan pun bisa berbicara.
Bagi saya pribadi, Avatar: The Way of Water bukan hanya tontonan spektakuler, melainkan sebuah pengalaman spiritual. Di tengah industri film modern yang dipenuhi karya instan dan formula seragam, Cameron menghadirkan sesuatu yang langka: keseimbangan antara teknologi, narasi, dan emosi. Film ini mengingatkan bahwa sinema sejati bukan sekadar hiburan visual, tetapi sarana untuk merenung dan merasakan kembali makna menjadi manusia.
Dalam wawancaranya dengan National Geographic, James Cameron pernah berkata, “Air mengajarkan kita untuk mengalir, beradaptasi, dan menghormati kehidupan di sekitar.” Bagi saya, kalimat itu merangkum seluruh pesan film ini. The Way of Water adalah refleksi tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam, bukan menguasainya. Film ini menegaskan bahwa kemajuan teknologi tanpa empati hanya akan membawa kehancuran.
Sebagai penulis sekaligus penonton, saya melihat Avatar: The Way of Water sebagai pengingat bahwa bumi kita adalah rumah yang harus dijaga. Alam bukan musuh yang harus ditaklukkan, melainkan sahabat yang harus dihormati. Dalam keindahan visual dan kedalaman maknanya, Cameron mengajak kita untuk kembali menyadari bahwa air bukan sekadar sumber kehidupan, tetapi juga pengingat bahwa semua makhluk saling terhubung.