Saat Hati Belajar untuk Mengerti Diri Sendiri

(Source: Pexels/Cottonbro Studio)

Di tengah rutinitas yang tidak pernah beristirahat, kadang kita lupa bahwa tubuh dan pikiran bukan sebuah mesin. Ada perasaan yang sering terlewat, ada suara hati yang tidak sempat kita dengar.

Fajar duduk di sudut ruang kerjanya yang sunyi. Tangannya sibuk mengklik mouse, matanya sayu menatap layar. Tapi, pikirannya kacau membara. Dalam diam, ada resah yang perlahan mengiris tenang. Dia tidak sedang kelelahan karena pekerjaan, dia lelah karena tidak tahu kenapa dadanya terasa sesak setiap malam.

“Semua baik-baik saja, tapi rasanya... ada yang salah, aku sendiri tidak tahu salahnya di mana,” katanya perlahan, seperti sedang mengaku pada dirinya sendiri.

Fajar tidak sendiri, banyak orang yang menjalani dengan wajah tersenyum, tetapi hatinya diam-diam berteriak. Di situlah pentingnya belajar mengenal dan mengelola emosi yang disebut dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence/EQ). 

Menemukan Diri Sendiri di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Hidup tidak pernah mengajarkan kita secara langsung tentang emosional. Kita diajar berhitung, membaca, dan berbicara. Tapi tentang menangis? Marah? Kecewa? Semuanya seolah dianggap hal yang tidak penting, atau bahkan harus disembunyikan. Fajar tumbuh di dalam keluarga yang mengutamakan pencapaian. Dia belajar untuk menjadi manusia yang kuat dan tegar, tapi tidak pernah diajari bagaimana cara menghadapi kecewa tanpa menyalahkan diri sendiri.

“Kalau aku gagal, aku merasa menjadi manusia tidak berguna. Padahal, aku cuma butuh waktu untuk sedih,” ucapnya dengan penuh overthinking.

Kecerdasan emosional bukan bakat bawaan, tapi bisa dipelajari melalui pengalaman, luka, dan keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Secara ilmiah, kecerdasan emosional mencakup lima aspek yang terdiri dari kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Tapi dalam kehidupan nyata, itu berarti berani merasa dan mampu mengelola rasa.

Cerita Fajar bisa jadi adalah cerminan diri kita sendiri. Kita yang terlalu sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Kita yang takut terlihat lemah, yang terlalu ingin menyenangkan semua orang, sampai lupa menyenangkan diri sendiri. Kita tahu cara menilai angka, tapi tidak tahu cara menilai perasaan. Kita bisa membaca situasi di tempat kerja, tapi tidak bisa membaca isi hati sendiri.

Semua orang ingin merasa cukup. Namun sering kali untuk merasa cukup, kita harus mengenal lebih dulu segala kekurangannya. Proses itu menyakitkan, tapi justru menyembuhkan.

Kecerdasan emosional bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang bagaimana cara bersikap ketika kita sedang tidak baik-baik saja. Fajar kini sedang belajar menulis jurnal sebelum tidur. Dia mencatat perasaannya hari itu tanpa menghakimi orang lain. Kadang hanya satu kata, kadang hanya satu paragraf. Tapi, dia mulai paham bahwa perasaan tidak selalu butuh solusi, tapi hanya butuh diakui.

Dia juga mulai berani untuk berkata “tidak” ketika lelah, dan berkata “ya” ketika ingin beristirahat tanpa merasa bersalah. Itu bukan egois, itu merupakan bentuk merawat diri agar tetap waras.

Apa yang bisa kita pelajari?

1.     Kenali Perasaan

Beri nama untuk setiap emosi yang muncul. Jangan terburu-buru menolaknya. Apakah itu rasa sedih, kecewa, bahagia, atau cemas? Emosi bukan simbol kelemahan, tapi sebagai sinyal dalam diri kita yang memberi tahu bahwa ada sesuatu yang penting sedang terjadi.

2.     Tahan reaksi, bukan emosi

Menahan reaksi bukan berarti membohongi diri, tapi memberi ruang agar kita bisa bertindak dengan bijak. Merasa marah bukanlah kesalahan, yang penting bagaimana cara kita meresponsnya.

3.     Latih empati setiap hari

Empati bukan hanya memahami perasaan orang lain, tapi juga hadir tanpa menghakimi orang lain. Terkadang, orang lain tidak butuh nasihat, mereka hanya butuh didengarkan dan dipercaya.

4.     Belajar menerima kenyataan

Dalam hidup, semua hal tidak berjalan sesuai kenyataan. Kita tidak bisa mengatur sikap orang lain, tapi kita selalu punya kuasa untuk merespons.

5.     Terhubung dengan diri sendiri

Luangkan waktu untuk jauh dari kebisingan dan tuntutan dari siapa pun. Dengarkan isi hati diri sendiri tanpa tergesa-gesa untuk mencari solusinya. Mungkin dengan menulis jurnal, berjalan kaki, atau berdiam diri sambil menarik napas panjang. Momen seperti ini penting agar kita tidak kehilangan arah dalam kerasnya dunia. Terhubung dengan diri berarti kembali ke rumah, tempat paling jujur dan aman.

Cerita Fajar bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan saja. Bukan karena zaman, bukan karena tren, tapi karena menjadi manusia artinya juga harus siap merasakan. Selama kita masih hidup, selama itu juga kita akan terus belajar memahami emosi.

Kita mungkin tidak bisa menghindari kecewa. Tetapi dengan kecerdasan emosional, kita tahu bahwa kecewa bukan akhir dari segalanya. Belajar mengerti diri sendiri bukan proses yang singkat. Tetapi dari sanalah semua hal baik dimulai. Hubungan yang lebih jujur, keputusan yang lebih matang, dan hidup yang lebih damai.

Karena terkadang, memahami emosi bukan tentang menjadi kuat, tetapi tentang berani jujur terhadap diri sendiri, bahwa kita juga manusia yang kadang ingin menangis, dan itu wajar.

Link: https://www.klikwarta.com/saat-hati-belajar-untuk-mengerti-diri-sendiri

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama