Di tengah rutinitas yang tidak pernah beristirahat,
kadang kita lupa bahwa tubuh dan pikiran bukan sebuah mesin. Ada perasaan yang
sering terlewat, ada suara hati yang tidak sempat kita dengar.
Fajar duduk di sudut ruang kerjanya yang sunyi.
Tangannya sibuk mengklik mouse, matanya sayu menatap layar. Tapi, pikirannya
kacau membara. Dalam diam, ada resah yang perlahan mengiris tenang. Dia tidak
sedang kelelahan karena pekerjaan, dia lelah karena tidak tahu kenapa dadanya
terasa sesak setiap malam.
“Semua baik-baik saja, tapi rasanya... ada yang salah,
aku sendiri tidak tahu salahnya di mana,” katanya perlahan, seperti sedang
mengaku pada dirinya sendiri.
Fajar tidak sendiri, banyak orang yang menjalani dengan wajah tersenyum, tetapi hatinya diam-diam berteriak. Di situlah pentingnya belajar mengenal dan mengelola emosi yang disebut dengan kecerdasan emosional (emotional intelligence/EQ).
Menemukan Diri Sendiri di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Hidup tidak pernah mengajarkan kita secara langsung
tentang emosional. Kita diajar berhitung, membaca, dan berbicara. Tapi tentang
menangis? Marah? Kecewa? Semuanya seolah dianggap hal yang tidak penting, atau
bahkan harus disembunyikan. Fajar tumbuh di dalam keluarga yang mengutamakan
pencapaian. Dia belajar untuk menjadi manusia yang kuat dan tegar, tapi tidak
pernah diajari bagaimana cara menghadapi kecewa tanpa menyalahkan diri sendiri.
“Kalau aku gagal, aku merasa menjadi manusia tidak
berguna. Padahal, aku cuma butuh waktu untuk sedih,” ucapnya dengan penuh
overthinking.
Kecerdasan emosional bukan bakat bawaan, tapi bisa
dipelajari melalui pengalaman, luka, dan keberanian untuk jujur pada diri
sendiri. Secara ilmiah, kecerdasan emosional mencakup lima aspek yang terdiri
dari kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan
sosial. Tapi dalam kehidupan nyata, itu berarti berani merasa dan mampu
mengelola rasa.
Cerita Fajar bisa jadi adalah cerminan diri kita
sendiri. Kita yang terlalu sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Kita yang takut terlihat lemah, yang terlalu ingin menyenangkan semua orang,
sampai lupa menyenangkan diri sendiri. Kita tahu cara menilai angka, tapi tidak
tahu cara menilai perasaan. Kita bisa membaca situasi di tempat kerja, tapi
tidak bisa membaca isi hati sendiri.
Semua orang ingin merasa cukup. Namun sering kali
untuk merasa cukup, kita harus mengenal lebih dulu segala kekurangannya. Proses
itu menyakitkan, tapi justru menyembuhkan.
Kecerdasan emosional bukan tentang menjadi sempurna,
tapi tentang bagaimana cara bersikap ketika kita sedang tidak baik-baik saja.
Fajar kini sedang belajar menulis jurnal sebelum tidur. Dia mencatat
perasaannya hari itu tanpa menghakimi orang lain. Kadang hanya satu kata,
kadang hanya satu paragraf. Tapi, dia mulai paham bahwa perasaan tidak selalu
butuh solusi, tapi hanya butuh diakui.
Dia juga mulai berani untuk berkata “tidak” ketika
lelah, dan berkata “ya” ketika ingin beristirahat tanpa merasa bersalah. Itu
bukan egois, itu merupakan bentuk merawat diri agar tetap waras.
Apa yang bisa kita pelajari?
1.
Kenali Perasaan
Beri
nama untuk setiap emosi yang muncul. Jangan terburu-buru menolaknya. Apakah itu
rasa sedih, kecewa, bahagia, atau cemas? Emosi bukan simbol kelemahan, tapi
sebagai sinyal dalam diri kita yang memberi tahu bahwa ada sesuatu yang penting
sedang terjadi.
2.
Tahan reaksi,
bukan emosi
Menahan
reaksi bukan berarti membohongi diri, tapi memberi ruang agar kita bisa
bertindak dengan bijak. Merasa marah bukanlah kesalahan, yang penting bagaimana
cara kita meresponsnya.
3.
Latih empati
setiap hari
Empati
bukan hanya memahami perasaan orang lain, tapi juga hadir tanpa menghakimi
orang lain. Terkadang, orang lain tidak butuh nasihat, mereka hanya butuh
didengarkan dan dipercaya.
4.
Belajar menerima
kenyataan
Dalam
hidup, semua hal tidak berjalan sesuai kenyataan. Kita tidak bisa mengatur
sikap orang lain, tapi kita selalu punya kuasa untuk merespons.
5.
Terhubung dengan
diri sendiri
Luangkan waktu
untuk jauh dari kebisingan dan tuntutan dari siapa pun. Dengarkan isi hati diri
sendiri tanpa tergesa-gesa untuk mencari solusinya. Mungkin dengan menulis
jurnal, berjalan kaki, atau berdiam diri sambil menarik napas panjang. Momen
seperti ini penting agar kita tidak kehilangan arah dalam kerasnya dunia.
Terhubung dengan diri berarti kembali ke rumah, tempat paling jujur dan aman.
Cerita Fajar bisa terjadi kepada siapa saja dan kapan
saja. Bukan karena zaman, bukan karena tren, tapi karena menjadi manusia
artinya juga harus siap merasakan. Selama kita masih hidup, selama itu juga
kita akan terus belajar memahami emosi.
Kita mungkin tidak bisa menghindari kecewa. Tetapi
dengan kecerdasan emosional, kita tahu bahwa kecewa bukan akhir dari segalanya.
Belajar mengerti diri sendiri bukan proses yang singkat. Tetapi dari sanalah
semua hal baik dimulai. Hubungan yang lebih jujur, keputusan yang lebih matang,
dan hidup yang lebih damai.
Karena terkadang, memahami emosi bukan tentang menjadi kuat, tetapi tentang berani jujur terhadap diri sendiri, bahwa kita juga manusia yang kadang ingin menangis, dan itu wajar.
Link: https://www.klikwarta.com/saat-hati-belajar-untuk-mengerti-diri-sendiri